Sabtu, 17 Januari 2009

KEMAMPUAN UNTUK BERGAUL DENGAN BAIK

Udara siang itu sungguh panas. Ruangan tidak ada AC-nya. Kami peserta rapat memakai baju lengan panjang dan harus berdasi. Ada pula beberapa orang yang pakai jas, tidak tahulah mungkin mereka sedang masuk angin. Dasi yang terpasang di leher rasanya ikut mempersempit nafas dan gerak kita.

Di kondisi yang panas itu, sang pemimpin muncul. Ia berumur mendekati lima puluhan. Dengan kumis melintangnya, ia berjalan angkuh menuju meja pimpinan yang letaknya jauh lebih tinggi dari meja-meja kami. Sebelum mulai bicara, ia mengeluarkan rokoknya. Diketuk-ketukkan ujung rokok itu ke wadahnya yang terbuat dari kuningan. Entah apa sebabnya harus diketok-ketokkan, mungkin lebih gurih rasanya, pikir saya.

Dengan nada dingin ia mulai bicara. Logat Jawanya yang kental dipadu dengan gaya betawi pinggiran menghiasi ruang rapat itu. Ia bicara tentang gagalnya wilayah itu mencapai target. Ia mulai menceritakan bagaimana para kepala cabang, terutama yang muda cuma bisa aksi-aksian. Sok sekolahan, katanya.

Saya dan beberapa rekan masih berusia 26-an ketika jadi kepala cabang. Mendengar ia mengomel seperti itu, tentu saja kami mengkeret. Kami tidak berani bicara. Ketika saya lirik kepala cabang kantor besar yang merupakan senior kami, ia kelihatan diam saja, wajahnya kelihatan berduka.

Setelah itu semprotan kemarahan ditujukan kepada kami semua. Wajahnya memerah, kumisnya agak berdiri, dan kepalan tangannya yang besar berkali-kali dipukulkan ke meja. Wajahnya agak mengancam.

Tiba-tiba ia melihat seorang rekan yang kelihatan kaos kakinya. Rupanya teman itu karena saking kepanasan, maka ia melepas sepatunya. Karena meja yang dipakai rapat tidak tertutup, jelas kakinya yang tidak bersepatu itu kelihatan jelas oleh pemimpin itu. ”Segera pakai sepatumu! Kamu harus duduk yang sopan ya, apalagi di hadapan pemimpinmu,” teriaknya garang.

Dengan geragapan teman kami segera memakai sepatunya, setelah itu ia tidak berani bergerak lagi. Mungkin ia berpikir, “Mimpi apa aku semalam, sampai-sampai sepatuku kulepas saja aku dimarahi.”

Kami ingin tertawa lepas melihat kejadian itu, tapi kami tidak berani. Hanya dengan tertawa di hati, kami bisa tertawa sepuasnya. Sekilas, mata pemimpin itu melirik ke sana kemari. Mungkin ia ingin memeriksa siapa lagi yang melepas sepatunya. Rapat dinas itu berlangsung selama tiga hari, dan rasanya tidak banyak yang bisa kita dapat. Paling yang teringat hanyalah makian, dan kejadian lucu melihat rekan-rekan saya dimarahi terus.

Kejadian itu membekas pada suasana hati kami. Kami jadi tidak begitu konsentrasi lagi pada acara rapat itu. Yang kami impikan hanyalah rapat segera usai. Kami ingin segera ke hotel dan ganti pakaian untuk makan dan jalan-jalan di pulau Dewata itu.

Perhatikanlah bagaimana pemimpin itu tidak mampu meredam emosinya. Akibatnya, sangat tidak produktif.

Kemampuan untuk bergaul dengan baik, dan penuh harmoni menjadi tuntutan yang jelas bagi para pemimpin. Pemimpin harus mampu memotivasi agar karyawan bekerja dengan semangat tinggi. Ia juga perlu menginspirasi dan membangkitkan sikap positif pada karyawannya. Menaikkan semangat kontribusi karyawan juga menjadi tugas yang amat penting, apalagi di perekonomian yang makin bergeser ke arah pelayanan (service economy) seperti sekarang ini.

Satu variabel yang dipandang berpengaruh terhadap kepemimpinan yang efektif adalah kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi (emotional inteligence) makin populer di akhirakhir ini. Kecerdasan ini digambarkan sebagai seperangkat kemampuan tentang bagaimana seseorang berhubungan dengan emosi baik emosi pada dirinya maupun orang lain.

Beberapa penulis seperti Goleman, Cooper dan Sawaf, menjelaskan, kecakapan pemimpin yang efektif, sebagiannya, bergantung pada pemahaman emosi dan kemampuan yang berhubungan dengan kecerdasan emosi.

Klaim tentang kecerdasan emosi sering menyesatkan.

Banyak ahli masih memperdebatkan tentang bagaimana tepatnya kecerdasan emosi berpengaruh pada kepemimpinan. Klaim-klaim populer tentang kecerdasan emosi ini banyak yang menyesatkan. Misalnya suatu perusahaan mengklaim, kecerdasan emosi bertanggung jawab lebih dari 85 persen terhadap prestasi yang mencengangkan dari para pemimpin top. Klaim ini terlalu berlebihan karena masih terdapat begitu banyak faktor yang menentukan efektivitas pemimpin.

Goleman dalam bukunya Primal Leadership menerangkan kaitan itu dengan melihat pada rancang bangun otak kita. Para ilmuwan telah menemukan, otak kita bersifat loop terbuka sistem limbic. Sistem loop tertutup, seperti pada peredaran darah adalah sistem yang mengatur dirinya sendiri. Apa yang terjadi pada sistem peredaran darah orangorang di sekitar kita tidak akan berdampak pada sistem peredaran darah kita. Sedangkan sistem loop terbuka banyak bergantung pada sumber luar untuk mengatur dirinya sendiri.

Ketika kita menghadiri rapat, para peserta pasti akan mengamati sang pemimpin. Ia yang disuruh bicara duluan. Ia biasanya bahkan bicara yang paling banyak. Jika ada yang mengomentari, paling hanya mengomentari pernyataan sang pemimpin. Para peserta akan mengamati emosi yang terpancar dari pemimpin itu.

Emosi gembira mudah menular

Ketika pemimpin berkata dengan antusias, senyum, dan kadang tertawa, maka suasana akan berganti menjadi rapat yang menyenangkan. Namun ketika pemimpin mulai dengan muka masam, tidak senyum, berkata sinis, maka rapat akan menjadi arena yang menegangkan. Emosi yang ditampilkan oleh pemimpin itu mudah menular kepada peserta rapat.

Kajian dari Yale University School of Management menemukan, emosi yang paling mudah menyebar adalah kegembiraan dan kehangatan, sedangkan emosi mudah tersinggung dan depresi hampir tidak menyebar sama sekali. Suasana hati yang baik tersebar lebih cepat dan memliki dampak langsung pada bisnis.

Kajian Yale ini menemukan, suasana hati mempengaruhi efektivitas kerja orang. Suasana hati yang baik mendorong kerjasama, keadilan dan kinerja bisnis yang baik.

Benjamin dan kawan-kawannya mencoba meneliti seberapa besar kaitan antara kecerdasan emosi dengan kepemimpinan yang efektif. Sampel penelitian adalah mahasiswa Swinburne University Center for Innovation and Enterprise Programs (CIE). Yang diukur adalah tentang bagaimana cara orang memonitor emosi dirinya dan orang lain serta bagaimana orang mengelola emosi dirinya dan emosi orang lain. Sedangkan untuk kepemimpinan yang efektif, mereka memakai kepemimpinan transformasional.

Mereka mendapati, para pemimpin yang memonitor dan mengelola emosinya jelas ada hubungannya dengan komponen kepemimpinan transformasional. Komponen itu adalah: inspirational motivation, individualized consideration, dan inspirational motivation.

Dari penelitian ini memang nampak, memonitor dan mengelola emosi merupakan kecakapan yang penting bagi pemimpin. Karena merupakan kecakapan, maka kemampuan itu bisa dipelajari.

Satu cara yang amat bermanfaat adalah memanfaatkan suatu space, suatu ruang kosong antara stimulus dan respons. Contoh, ketika ada orang menghina kita, maka kita bisa melakukan dua hal. Pertama kita langsung saja membalas. Akibatnya orang yang menghina akan membalas menghina, dan terjadi perang kata-kata.

Atau kita pakai cara kedua. Sebelum menjawab hinaan itu, kita bisa menarik nafas panjang dan berpikir. Kita pikirkan dampak jawaban kita, perlu tidak kita langsung membalas, atau membiarkan hinaan itu lewat begitu saja. Saat itu ada proses evaluasi terhadap plihan kita. Apa pun plihan kita, setelah melalui proses berpikir, akan jauh lebih bermutu daripada kita langsung menjawab dengan membalas menghina atau malah memukul orang yang menghina kita.

Memanfaatkan ruang kosong

Ruang kosong ini amat bermanfaat bagi pemimpin. Ketika pemimpin mendengar betapa para tenaga penjualnya gagal membuat transaksi besar yang semestinya berhasil, ia bisa memanfaatkan ruang kosong ini. Daripada menyemprotkan sumpah serapah dan itu pasti membuat bawahannya terluka hatinya. Pemimpin yang peka emosinya itu akan menarik nafas, memikirkan pasti ada sesuatu penyebab yang mengakibatkan kegagalan itu. Mungkin ada pesaing yang lebih agresif, atau mungkin calon pelanggan itu terjadi pemotongan anggaran, dan mungkin banyak sebab lainnya.

Dengan memanfaatkan ruang kosong ini, ia bisa berpikir panjang, dan tidak langsung marah. Tindakan seperti ini tentu membuat bawahannya tidak lagi terlalu ketakutan. Dengan pelan-pelan mendiskusikan masalah itu, akhirnya akan ditemukan suatu solusi. Saat itulah baik pemimpin maupun bawahan mendapatkan manfaat masing-masing. Pemimpin mampu mengelola emosinya, begitu pula bawahan juga mendapatkan arahan, bukannya kemarahan yang membabi buta.

Mengapa mengelola emosi penting?

Memang kemampuan mengelola dan memonitor emosi menjadi kunci sukses dari pemimpin transformasional. Mengapa demikian ? karena mereka menitikberatkan suksesnya melalui kerjasama orang lain. Andaikata pemimpin mencoba menggerakkan karyawan dengan paksaan dan hukuman, maka yang terjadi hanyalah kepatuhan semu.

Karyawan tidak akan mengerahkan upayanya yang tertinggi. Apalagi jika bawahan merupakan karyawan yang selalu mengandalkan otak, dan bukannya kerja fisik.

Jika hanya kerja fisik, misalnya memindahkan batu-bata, maka hasil kerjanya langsung kelihatan. Jika tidak giat, maka batu-batu akan tidak segera terkumpul.

Namun umpama pekerjaannya berupa merancang strategi, menjual, membujuk pelanggan, dan kegiatan berpikir lainnya, hasil kerjanya tidak langsung kelihatan. Ketika gagal mencapai penjualan, tenaga penjual bisa berdalih dengan seribu alasan yang sepertinya masuk akal. Dan ketika menghadapi alasan ini, pemimpin tidak bisa langsung menyalahkan.

Ketika karyawan diberi motivasi, inspirasi dan dibangkitkan semangat juangnya di mana pemimpinnya siap juga mendukung dan berjuang bersamanya, semangat mereka akan bangkit, dan mereka akan berjuang sepenuh kemampuan mereka. Inilah ciri yang dibangkitkan oleh pemimpin transformasional. Maka tidaklah mengherankan apabila dari ratusan penelitian kepemimpinan transformasional selalu menghasilkan kinerja bisnis yang unggul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar